Sejarah Teater
Kata tater atau drama berasal dari bahasa Yunani ”theatrom”
yang berarti seeing Place (Inggris). Tontonan drama memang menonjolkan
percakapan (dialog) dan gerak-gerik para pemain (aktif) di panggung. Percakapan
dan gerak-gerik itu memperagakan cerita yang tertulis dalam naskah. Dengan
demikian, penonton dapat langsung mengikuti dan menikmati cerita tanpa harus
membayangkan. Teater sebagai tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti
tertulis pengungkapan bahwa teater sudah ada sejak abad kelima SM. Hal ini
didasarkan temuan naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup
Lahirnya adalah bermula dari upacara keagamaan yang
dilakukan para pemuka agama, lambat laun upacara keagamaan ini berkembang,
bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang
diucapkan dengan lantang, selanjutnya upacara keagamaan lebih menonjolkan
penceritaan.
Sebenarnya istilah teater merujuk pada gedung pertunjukan,
sedangkan istilah drama merujuk pada pertunjukannya, namun kini kecenderungan
orang untuk menyebut pertunjukan drama dengan istilah teater.
1. Mengapresiasikan Karya Seni Teater
Kegiatan berteater dalam kehidupan masyarakat dan budaya
Indonesia bukan merupakan sesuatu yang asing bahkan sudah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan, kegiatan teater dapat kita lihat dalam peristiwa-peristiwa
Ritual keagamaan, tingkat-tingkat hidup, siklus hidup (kelahiran, pertumbuhan
dan kematian) juga hiburan. Setiap daerah mempunyai keunikan dan kekhasan dalam
tata cara penyampaiannya. Untuk dapat mengapresiasi dengan baik mengenai seni
teater terutama teater yang ada di Indonesia sebelumnya kita harus memahami apa
seni teater itu ? bagaimana ciri khas teater yang berkembang di wilayah negara
kita.
2. Pengertian Teater
2. Pengertian Teater
Arti luas teater adalah segala tontonon yang dipertunjukan didepan orang
banyak, misalnya wayang golek, lenong, akrobat, debus, sulap, reog, band dan
sebagainya.
Arti sempit adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang
diceritakan diatas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media :
percakapan,gerak dan laku dengan atau tanpa dekor, didasarkan pada naskah
tertulis denga diiringi musik, nyanyian dan tarian.
Teater adalah salah satu bentuk kegiatan manusia yang secara
sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk menyatakan dirinya yang
diwujudkan dalam suatu karya (seni pertunjukan) yang ditunjang dengan unsur
gerak, suara, bunyi dan rupa yang dijalin dalam cerita pergulatan tentang
kehidupan manusia.
Tubuh manusia sebagai unsur utama (Pemeran/ pelaku/
pemain/actor)
Gerak sebagai unsur penunjang (gerak tubuh,gerak suara,gerak bunyi
dan gerak rupa) Suara sebagai unsur penunjang (kata, dialog, ucapan pemeran) Bunyi sebagai efek Penunjang (bunyi benda, efek dan musik) Rupa sebagai unsur penunjang (cahaya, dekorasi, rias dan kostum) Lakon sebagai unsur penjalin (cerita, non cerita, fiksi dan narasi)
Gerak sebagai unsur penunjang (gerak tubuh,gerak suara,gerak bunyi
dan gerak rupa) Suara sebagai unsur penunjang (kata, dialog, ucapan pemeran) Bunyi sebagai efek Penunjang (bunyi benda, efek dan musik) Rupa sebagai unsur penunjang (cahaya, dekorasi, rias dan kostum) Lakon sebagai unsur penjalin (cerita, non cerita, fiksi dan narasi)
Teater sebagai hasil karya (seni) merupakan satu kesatuan yang utuh antara manusia sebagai unsur utamanya dengan unsur -unsur penunjang dan penjalinnya. Dan dapat dikatakan bahwa teater merupakan perpaduan segala macam pernyataan seni.
3. Bentuk Teater Indonesia berdasarkan pendukungnya :
a. Teater rakyat yaitu teater yang didukung oleh
masyarakat kalangan pedesaan , bentuk teater ini punya karakter bebas tidak
terikat oleh kaidah-kaidah pertunjukan yang kaku, sifat nya
spontan,improvisasi. Contoh : lenong, ludruk, ketoprak dll.
b. Teater Keraton yaitu Teater yang lahir dan berkembang
dilingkungan keraton dan kaum bangsawan. Pertunjukan dilaksanakan hanya untuk
lingkungan terbatas dengan tingkat artistik sangat tinggi,cerita berkisar pada
kehidupan kaum bangsawan yang dekat dengan dewadewa. Contoh : teater Wayang
c. Teater Urban atau kota-kota. Teater ini Masih membawa
idiom bentuk rakyat dan keraton . teater jenis ini lahir dari kebutuhan yang
timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai
produk dari kebutuhan baru , sebagai fenomena modern dalam seni pertunjukan di
Indonesia.
d. Teater kontemporer,yaitu teater yang menampilkan peranan
manusia bukan sebagai tipe melainkan sebagai individu . dalam dirinya
terkandung potensi yang besar untuk tumbuh dengan kreatifitas yang tanpa batas.
Pendukung teater ini masih sedikit yaitu orang-orang yang menggeluti teater
secara serius mengabdikan hidupnya pada teater dengan melakukan pencarian,
eksperimen berbagai bentuk teater untuk mewujudkan teater Indonesia masa kini.
Sebagian besar daerah di Indonesia mempunyai kegiatan
berteater yang tumbuh dan berkembang secara turun menurun. Kegiatan ini masih
bertahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang erat hubungannya dengan budaya
agraris (bertani) yang tidak lepas dari unsur-unsur ritual kesuburan, siklus
kehidupan maupun hiburan. Misalnya : untuk memulai menanam padi harus diadakan
upacara khusus untuk meminta bantuan leluhur agar padi yang ditanam subur,
berkah dan terjaga dari berbagai gangguan. Juga ketika panen, sebagai ucapan
terima kasih maka dilaksanakan upacara panen. Juga peringatan tingkat-tingkat
hidup seseorang (kelahiran, khitanan, naik pangkat/ status dan kematian dll)
selalu ditandai dengan peristiwa-peristiwa teater dengan penampilan berupa
tarian,nyanyian maupun cerita, dengan acara, tata cara yang unik dan menarik.
Teater rakyat adalah teater yang hidup dan
berkembang dikalangan masyarat untuk memenuhi kebutuhan ritual dan hiburan
rakyat.
1. Teater Tradisional
Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006)
mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman
Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional
banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan
bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata
cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”,
sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk
kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara,
unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari
spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Proses terjadinya atau
munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah
dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater
tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat,
sumber dan tata-cara di mana teater tradisional lahir. Macam-macam teater
tradisional Indonesia adalah :wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong,
randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
2. Teater Transisi (Modern)
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater
pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh
budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional
dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan
teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai
ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis
besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan
dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Pada periode
transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain
pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan
teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar
tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali
berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian
Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi
dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun
1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater
Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon.
Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya
lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul
Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw
Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan
lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah. Setelah Komedie Stamboel
didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay
Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21
Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul,
Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek,
Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum
muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater
pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan
dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan,
istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat
Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan
3. Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan
Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern
Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah
drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan
unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis
sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu karena penindasan
pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun
1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan
disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari
(artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi
(1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat
kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang
membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya,
yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933)
Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah
roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi
naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si
Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman
Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama
berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan,
dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka.
Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan
bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden
pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai
teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara
lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
4. Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu
penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter
Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan
pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan
gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat
berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan
menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai
upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional
Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah
Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane
(Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn
Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia
bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan
memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.
Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat
Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia,
ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang,
yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’,
yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang
ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka
membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang
kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang
kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan
sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang
berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat.
Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi
Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna,
dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa
Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil
dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item),
Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang
dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara
Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata
Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan
Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan
cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di
antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak.
Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan
peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik. Menyusul kemudian
muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu
Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya.
Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan
teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan
sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan
Rencong Aceh. Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha
Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para
pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan
membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara
Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia,
seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan
deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung.
Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga
menarik minat penonton. ceritacerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan
Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain
sebagainya. Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara
Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam
perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan
propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia
yang mementaskan ceritacerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang. Anjar
Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6 April 1943, mendirikan
rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang
menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada
awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga
akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang
lebih suka unsur hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak
lain sehingga akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti
selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga
di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata.
Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek
Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu,
Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida. Pertumbuhan sandiwara profesional tidak
luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu
Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD
(Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan
sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan
oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang,
Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram,
Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen
diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane.
Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu
maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh
menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor
Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan
sandiwara. Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang
melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan
Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar,
dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para
profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip
menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke
arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan
tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan
cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni
serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius.
Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
5. Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah tokohg kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman
untuk merenungkan perjuangan dalam tokohg kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka
merenungkan peristiwa tokohg kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian
dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan
pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa tokohg
secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten
Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954),
Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin,
1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska tokohg,
seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan
Komunisme, melalaikan penderitaan korban tokohg, dan lain-lain. Tema itu terungkap
dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953)
karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh
Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko
dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy
Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya
drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan
kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak
hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi
pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom
Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom
realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI
menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan
dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode
pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian.
Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern
yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara
antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana
Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955
Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia
(ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.
6. Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim Adi Limas mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai
mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti
gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai
dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya
penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton
Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie
(Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun
1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya
longser, teater rakyat Sunda. Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang
kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan
Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi
Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya
absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco,
1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar
teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman
Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur
teater Barat dengan teater etnis. Peristiwa penting dalam usaha membebaskan
teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika
Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang
kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan
naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi,
pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian
mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata
(menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan
Rambate Rate Rata (1967,1968). Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki
oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas,
dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar
seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang,
dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul
lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan
festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara
umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht,
Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan. Di Surabaya muncul bentuk
pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat
(kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim
Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Melarat Malang). Di
Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa
mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di
Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater
Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya
adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana
Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa
Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan
gaya pementasan yang kaya irama dari
blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.
blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.
7. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam
melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya
kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan
Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok
teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal
dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja).
Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan
Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di
Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq
Dimyati dan Mukid F.
Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan
bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran.
Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater
Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Republik, dan Teater Payung
Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya
memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater
Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul
Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater
Potlot.
Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater
seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya
sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan.
Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas,
Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar
produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan
tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya
perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater
pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka
kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.
8. Teater Kontemporer Indonesia
Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan
ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan
ini terus berkembang sejak tahun 80- an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru
saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi
teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung
dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur
pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi
semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.
10 Seni teater Tradisional Indonesia
1. Wayang
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500
tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa
pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan
dalam bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa
berarti: bayangan , dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya
bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor
Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata
"yang" yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata:
laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau
reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu,
poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang. Menurut hasil
perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya
tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak
berkali-kali, tidak tetap, melayang.
2. Makyong
Makyong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu
yang sampai sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari
dalam forum internasional. Makyong dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha Thai
dan Hindu-Jawa. Nama makyong berasal dari mak hyang, nama lain untuk dewi sri,
dewi padi.
Makyong adalah teater tradisional yang berasal dari Pulau
Bintan, Riau. Makyong berasal dari kesenian istana sekitar abad ke-19 sampai
tahun 1930-an. Makyong dilakukan pada siang hari atau malam hari. Lama
pementasan ± tiga jam.
3. Drama Gong
Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang
masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur
drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional
Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur teater
modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Karena dominasi dan pengaruh
kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong
disebut "drama klasik". Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini
oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana
dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan
sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase
(Gianyar).
Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan
puncak kejayaannya adalah tahun1970. Namun semenjak pertengahan tahun 1980
kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah
sekaa Drama Gong yang masih aktif.
4. Randai
4. Randai
Randai adalah kesenian (teater) khas masyarakat
Minangkabau, Sumatra Barat yang dimainkan oleh beberapa orang (berkelompok atau
beregu). Randai dapat diartikan sebagai “bersenang-senang sambil membentuk
lingkaran” karena memang pemainnya berdiri dalam sebuah lingkaran besar
bergaris tengah yang panjangnya lima sampai delapan meter. Cerita dalam randai,
selalu mengangkat cerita rakyat Minangkabau, seperti cerita Cindua Mato, Malin
Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya, randai
pertama kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Padang Panjang, ketika mereka
berhasil menangkaprusa yang keluar dari laut.
Kesenian randai sudah dipentaskan di beberapa tempat di
Indonesia dan bahkan dunia. Bahkan randai dalam versi bahasa Inggris sudah
pernah dipentaskan oleh sekelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika
Serikat.
Kesenian randai yang kaya dengan nilai etika dan estetika
adat Minangkabau ini, merupakan hasil penggabungan dari beberapa macam seni,
seperti: drama (teater), seni musik, tari dan pencak silat.
5. Mamanda
Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang
berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain,
Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara
pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif
menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi
lebih hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman
ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian
Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana
Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua,
Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam
lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan
sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri
dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar
dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat.
Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau
kekeluargaan.
Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa
rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan
bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan
Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba
Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini
lebih dikenal dengan sebutan mamanda.
Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M)
yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar,
kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah
beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama
"Mamanda". Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di
kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya.
6. Longser Longser merupakan salah satu bentuk teater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser berasal dari akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan saredet (tergugah) yang artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser, maka hatinya akan tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau doger. Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk teater tradisional yang disebut lengger. Busana yang dipakai untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari segi warnanya terutama busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya seorang ronggeng memakai kebaya dan kain samping batik. Sementara, untuk lelaki memakai baju kampret dengan celana sontog dan ikat kepala.
7. Ketoprak
Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer,
terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun
dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian
rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya
seperti srandul dan emprak. Kata ‘kethoprak’ berasal dari nama alat yaitu
Tiprak. Kata Tiprak ini bermula dari prak. Karena bunyi tiprak adalah prak, prak,
prak. Serat Pustaka Raja Purwa jilid II tulisan pujangga R. Ng. Rangga Warsita
dalam bukunya Kolfbunning tahun 1923 menyatakan “… Tetabuhan ingkang nama
kethoprak tegesipun kothekan” ini berarti kethoprak berasal dari bunyi prak,
walaupun awalnya bermula dari alat bernama tiprak.
Kethoprak juga berasal dari kothekan atau gejogan. Alat
bunyi-bunyian yang berupa lesung oleh pencipta kethoprak ditambah kendang dan
seruling. Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang
digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan bahasa
Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa
terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
- Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
- Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih
tinggi)
- Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu
untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan
saja penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena
itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus
dan spesifik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kethoprak adalah seni pertunjukan teater atau drama yang sederhana yang
meliputi unsur tradisi jawa, baik struktur lakon, dialog, busana rias, maupun
bunyi-bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh rakyat.
8. Ludruk
Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang
cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah
laki-laki. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh
sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita
tentang kehidupan rakyat sehari-hari (cerita wong cilik), cerita perjuangan dan
lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan
sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat
penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski kadang-kadang ada
bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan
logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah
diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum,
dll).
9. Lenong
"Lenong" adalah seni pertunjukan teater tradisional masyarakat Betawi, Jakarta. Lenong
berasal dari nama salah seorang Saudagar China yang bernama Lien Ong. Konon,
dahulu Lien Ong lah yang sering memanggil dan menggelar pertunjukan teater yang
kini disebut Lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta
keluarganya. Pada zaman dahulu (zaman penjajahan), lenong biasa dimainkan oleh
masyarakat sebagai bentuk apresiasi penentangan terhadap tirani penjajah. Kesenian
teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas
kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater
stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman
Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik
gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an. Pada
mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung.
Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan
berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta
sumbangan secara sukarela Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan
lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang
berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana
formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan,
sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh
sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua
jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes
umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong
preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
10. Ubrug
"Ubrug" di Pandeglang dikenal sebagai kesenian
tradisional rakyat yang semakin hari semakin dilupakan oleh penggemarnya.
Istilah ‘ubrug’ berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’ yang berarti campur aduk
dalam satu lokasi. Kesenian ubrug termasuk teater rakyat yang memadukan unsur lakon, musik,
tari, dan pencak silat. Semua unsur itu dipentaskan secara komedi. Bahasa yang
digunakan dalam pementasan, terkadang penggabungan dari bahasa Sunda, Jawa, dan
Melayu (Betawi). Alat musik yang biasa dimainkan dalam pemenetasan adalah
gendang, kulanter, kempul, gong angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk.
Selain berkembang di provinsi Banten, kesenian Ubrug pun berkembang sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan yang tentunya dipentaskan menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Teater Ubrug pada awalnya dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda daun kelapa atau rubia.
Selain berkembang di provinsi Banten, kesenian Ubrug pun berkembang sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan yang tentunya dipentaskan menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Teater Ubrug pada awalnya dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda daun kelapa atau rubia.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu
minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah
arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu
gembrong atau lampu petromak. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung
atau ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat
menyaksikannya dari segala arah.
0 komentar:
Posting Komentar